Kamis, 09 Februari 2012

Gaetano Scirea




“Sang Penguasa Curva Sud”  
Posted by on December 30, 2011 // 

Bukan Alessandro Del Piero. Bukan Michele Platini. Bukan Zinedine Zidane. Sang penguasa Curva Sud adalah legenda Juventus yang bernama “Gaetano Scirea“. Namanya diabadikan sebagai nama Curva Sud yang diperuntukkan kepada para tifoso Juventus. Curva Sud ini dikenal dengan nama “Curva Scirea“. Hal ini menggambarkan betapa sangat berharganya Scirea bagi Juventus. Seorang maestro bola dunia dan pahlawan Italia. Sang bintang ini lahir pada 25 Mei 1953 di Cernusco sul Naviglio. Ia dianggap sebagai salah satu pemain belakang terbaik sepanjang masa karena termasuk salah satu pemain yang memenangkan semua piala internasional untuk klub sepak bola.

Scirea muda dipanggil dengan “Gai”. Ia mengawali karirnya di Atalanta selama 2 musim (1972-74). Melakukan debutnya melawan Cagliari pada 24 September 1972. Kemudian Gai muda pindah ke Juventus dan menghabiskan seluruh sisa karirnya dari tahun 1974 sampai dengan tahun 1988 (14 tahun). Di Juventus, Scirea mengoleksi 377 penampilan Serie-A dengan 24 gol. Sedangkan di semua kompetisi dia telah menjalani 522 penampilan bersama Juventus. Catatan tersebut hanya kalah dari Alessandro Del Piero. Di Juventus, Scirea meraih 7 scudetti (1974/75, 1976/77, 1977/78, 1980/81, 1981/82, 1983/84, 1985/86), 2 Coppa Italia (1978/79, 1982/83), 1 Piala UEFA (1976/77), 1 Piala Winner (1983/84),  1 Piala Champions (1984/85), 1 Piala Super Eropa (1984) dan 1 Piala Intercontinental (1985).

Sementara dilevel Internasional, Scirea menjalani debut timnas Italia pada 30 Desember 1974 melawan Yunani. Ia adalah bek tangguh andalan Enzo Bearzot. Bersama timnas, Scirea menjalani 3 kali Piala Dunia (1978, 1982, 1986) dan satu kali Piala Eropa 1980. Bersama timnas dia mencatatkan 78 caps dengan 2 gol. Ia mengoleksi 1 Piala Dunia (1982) saat mengalahkan Jerman Barat 3-1 di final. Hebatnya, dalam perjalanan karirnya Scirea sama sekali belum pernah mendapatkan kartu merah. Catatan luar biasa untuk seorang bek tangguh.
Pada akhir musim 1987-1988, Gaetano Scirea pensiun dari sepakbola dan menjadi scout di Juventus. Enzo Bearzot memberikan definisi singkat atas karir Gaetano Scirea selama ini sebagai Sebuah contoh sempurna dari segala segi baik teknik, sikap dan perilaku”. Definisi yang sangat tepat dan terukir abadi selamanya. Pada konfrensi pers terakhirnya Scirea mengungkapkan kesedihannya meninggalkan Juventus sebagai pemain. Ia juga dengan tulus mengucapkan “Juve is more than just a team, I don’t know what it is, but I’m proud to be part of it” (Juventus bukan sebuah tim belaka, sebetulnya saya tidak tahu apa itu, namun yang jelas saya merasa sangat bangga menjadi salah satu bagian daripadanya).

THE LEGENDARY LEGEND
Hari itu, Minggu, 3 September 1989, merupakan hari yang tidak akan dilupakan oleh seluruh tifoso Juventus. Scirea dikabarkan meninggal dunia akibat kecelakaan yang dialaminya saat ia menjalankan tugas sebagai scout. Saat itu Scirea  memang sedang mengunjungi Polandia, untuk mengamati permainan Górnik Zabrze, yang akan bertanding melawan Juventus di Piala UEFA tiga hari kemudian. Naasnya ternyata mobil yang ditumpanginya bertabrakan dengan truk yang membawa empat galon berisi bensin disekitar kawasan Babsk. Sontak saja ledakan tak dapat dihindari. Scirea bersama tiga orang lainnya meninggal dunia. Saat itu dunia kehilangan seorang maestro, Italia kehilangan pahlawan bolanya dan Juventus kehilangan sang legenda. Dunia pun menangis. Berbagai kesan dan pesan berdatangan dari seluruh penjuru dunia…

DINO ZOFF: “Gaetano? An extraordinary man and footballer. An example of style and class both on the field and off it. Scirea would have been an excellent coach if he had the chance: he was convincing and loved to teach. (Gaetano? Seorang pria dan pesepakbola luar biasa. Contoh terbaik di lapangan maupun di luar lapangan. Dengannya saya berbagi momen-momen hebat. Dia bisa menjadi pelatih hebat jika memiliki kesempatan. Dia sangat meyakinkan dan cinta mengajar)

FRANCO CAUSIO: He came to Turin when he was still very young while I was already much older. I can say I saw him grow: youngster, fiancé, husband, exemplary father. He was shy and a good man perhaps even too good. I often told him to react, to be a bit crueler with the opponents: his serenity made me angry. You know what his answer used to be? “I can’t”. He used to say so with a smile on his lips and it was disarming. I never saw him get angry. He used to say it was not worth it and in hind sight I must admit I think so too. We spent the best years of our lives together, won a lot and shared great joys. When I left Juve we still remained very close. It was impossible not to love him. It was impossible to speak badly of him. I loved him a lot. (Dia datang ke Turin ketika masih sangat muda dan saya lebih tua. Saya saksi ketika dia tumbuh dari seorang pemuda, bertunangan, menjadi suami lalu ayah yang baik. Scirea adalah pria pemalu dan baik hati…bahkan terlalu baik. Saya sering bilang ke dia untuk sedikit kasar pada lawan namun ia menolak. Ketenangannya kadang membuat saya geram. Ia selalu berkata “Saya tidak bisa (kasar).” Dan dia mengatakannya sambil tersenyum menenangkan. Saya tidak pernah melihat dia marah. Ia selalu berkata tidak pantas untuk marah, dan dalam diri saya, saya pun sebetulnya merasa demikian. Kami menghabiskan waktu-waktu terbaik bersama, memenangkan banyak hal dan berbagi banyak kebahagiaan. Ketika saya meninggalkan Juve kami tetap dekat. Mustahil untuk tidak mencintainya, apalagi berbicara buruk padanya. Saya sangat mencintai dirinya.)

MARCO TARDELLI: He was one of the best players in the world but was too humble to say so or even to simple think so. His way of being quiet and reserved maybe took away his chance of being better known but it surely won him esteem, respect and the friendship of everyone, Juventus fans and not. One day, he came to see me by the sea and we played hide and seek, a strange thing for Serie A professionals but it was part of our spending time together and enjoying ourselves in a simple manner (Dia adalah salah satu pemain terbaik di dunia, tapi terlalu rendah hati untuk mengakuinya, bahkan sekedar memikirkannya. Sifatnya yang pendiam membuat dirinya tidak terlalu menonjol, tetapi justru membuat dirinya dihormati dan menjadi sahabat semua orang, baik fans Juventus maupun bukan. Satu hari kami pernah bermain petak umpet dilaut. Walaupun kami bintang sepakbola tapi kami menikmati saat-saat bersama dengan penuh kesederhanaan.)

STEFANO TACCONI: With Gaetano I only shared joys: together we won all there was to win. In the football annuals we are only 5 players who managed to win all the international tournaments: Blind of Ajax, Brio, Cabrini, Gaetano and myself. It is a reason to be proud having been able to write those pages together and having been his friend (Dengannya saya berbagi hanya kebahagiaan. Kami memenangkan semua yang ada. Dalam sejarah sepakbola klub hanya ada 5 pemain yang memenangkan semua turnamen internasional (yang diakui UEFA dan FIFA): Blind dari Ajax, Brio (Sergio Brio), Cabrini (Antonio Cabrini), Gaetano dan saya sendiri. Itulah alasan untuk bangga mampu menulis halaman-halaman itu bersama-sama dan menjadi temannya)

ALESSANDRO DEL PIERO: When I broke the record attendance mark for Juventus, it was only important for me because it was his record. Being able to achieve such feats with this club is an honour that I am very proud of, however it’s an incentive as well, because of the players who have been here before me, such as Gaetano (Ketika saya menembus angka rekor penampilan untuk Juventus, itu hanya menjadi penting bagi saya karena mampu melewati rekor milik Gaetano. Pencapaian prestasi tersebut dengan klub ini adalah suatu kehormatan bagi saya, oleh karenanya saya sangat bangga bisa melewati para pemain besar sebelum saya, seperti Gaetano)

GIOVANNI COBOLLI GIGLI: The 3rd of September was a normal day for me until I got to know from the television the news of the tragic death of Gaetano Scirea in Poland. Apart from my feelings, I remember that the whole of Italy joined the Juventus supporters in memory of a champion who had given so much not only by playing for Juventus but also for the national team. He was a classy great player who represented Juventus by playing as a bianconero for many years in a role that does not exist anymore, the libero role, but which he interpreted in a very dynamic manner. He was very good with his footwork and was capable of imposing the game. As a child, in the Atalanta youth sector he had gained experience as a winger and this sowed in him the want to attack. He was even capable of scoring great goals: I remember two impressive ones scored against Torino which fill me with joy and satisfaction (Ketika itu 3 September adalah hari yang normal bagi saya sampai ketika saya tahu dari televisi tentang kematian tragis Gaetano Scirea di Polandia.Terlepas dari perasaan saya, saya mengingat seluruh Italia bergabung dengan fans Juventus menghormati sebuah juara yang telah memberi sangat banyak tidak hanya bagi Juventus, tapi juga tim nasional. Ia adalah pahlawan bagi semua orang. Dia adalah pemain besar yang melambangkan Juventus, yang mampu menafsirkan peran libero dengan cara yang sangat dinamis. Dia sangat baik dengan gerak kaki dan mampu mengontrol permainan. Di Atalanta dia telah mendapatkan pengalaman sebagai pemain sayap dan mengajarkan dirinya untuk paham dalam menyerang. Dia bahkan mampu mencetak gol yang hebat. Saya ingat dua gol yang mengesankan yaitu saat ia mencetak dua gol melawan Torino. Saya sangat bahagia dan puas saat itu.) (Note: Kutipan-kutipan pesan dan kesan dari Dino Zoff, Steffano Tacconi, Marco Tardelli dan lainnya secara lengkap dapat dilihat di http://juventiknows.com)

Kebaikan, ketenangan dan sikap pesepakbola terbaik nampaknya benar-benar disematkan kepada pribadi Gaetano Scirea. Tanpa ragu, seluruh tifoso Juventus setuju untuk mengabadikan namanya menjadi nama Curva Sud di Stadion Juventus. Bahkan pada tahun 2005, Enzo Bearzot yang merupakan pelatih Scirea ditimnas, sempat mengusulkan agar kostum nomor 6 (nomor yang digunakan Scirea ditimnas) untuk diabadikan. Bukan itu saja. Para jurnalis Italia bahkan menciptakan “The Gaetano Scirea Award” atau penghargaan khusus bagi setiap pemain dengan fair play terbaik. Ini adalah sebuah penghargaan tertinggi untuk sosok pesepakbola dan seorang manusia. Tanpa dirinya, mungkin fair play hanya menjadi mitos belaka tanpa adanya contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Mengutip penggalan kata-kata France Football Magazine tentang Gaetano Scirea maka jelas bahwa “Scirea is better than Pele, Cruyff and Alfredo Di Stefano“. 


Date of Birth 25.05.1953 (Milan, Italy)

Prestasi :
7 x Italian League : 1974-1975, 1976-1977, 1977-1978,
1980-1981, 1981-1982, 1983-1984, 1985-1986
2 Italian Cup : 1978-1979, 1982-1983
1 x European Cup : 1984-1985
1 x Cup Winners Cup : 1983-1984
1 x UEFA Cup : 1976-1977
1 x European Super Cup : 1984
1 x Intercontinental Cup : 1985
1 x World Cup : 1982

Scirea pemain ini memulai debutnya bersama Atalanta di musim 1972-1974,
kemudian hijrah ke Juventus dari musim 1974 hingga 1988.

Rekor penampilan :
- Atalanta : 58 kali, 1 goal
- Juventus : 377 kali, 24 goal
- Cup Winners Cup : 16 kali, 1 goal
- European Cup : 42 kali, 0 goal
- UEFA Cup : 27 kali, 2 goal
- Azzurri : 78 kali, 2 goa 


Rest in Peace Legend. Forza Gaetano!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar